Selasa, 28 Oktober 2014

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan resensi buku ilmu pengetahuan ini.
Pembuatan resensi buku ini didasarkan pada tugas yang diberikan oleh guru B.Indonesia. Semoga resensi buku ini dapat menambah nilai tugas denga baik.
Demikianlah resensi buku ilmu pengetahuan ini. dari kami, semoga dapat bermanfaat.

Penyusun




 

IDENTITAS BUKU

Judul Buku : Tip & Trik Jago Main Rubik
Penulis             : Wicaksono Adi
Penerbit           : Gradien Mediatama
Cetakan           : 1, 2009
Tebal               : 184 halaman

PENULIS

Wicaksono Adi, lahir di Semarang pada 6 Oktober 1986. Di komunitas rubik Indonesia dan internasional, ia dikenal dengan nama panggilan Chuck. Mulai mengenal rubik pada Maret 2009, dengan segera ia jatuh cinta dengan permainan ini serta komunitasnya.

PENDAHULUAN

Buku "Tip & Trik Jago Main Rubik" ini hadir sebagai solusi jitu dan komplit. Buku ini akan menjadi teman akrab Anda dalam menyelami permainan rubik, mulai dari nol hingga mahir. Dari berjam-jan hingga mampu menyelesaikannya dibawah 20 detik, bahkan dengan mata tertutup.

SINOPSIS

Rubik adalah permainan puzzle mekanik berbentuk kubus yang memiliki enam warna pada setiap sisinya. Ditemukan pada tahun 1974 oleh Profesor Ernö Rubik, seorang arsitek dan pemahat asal Hungaria. Dengan segera, rubik menciptakan sensasi internasional. Setiap orang ingin memilikinya. Demam ini menjalar baik pada anak-anak maupun dewasa. Ada sesuatu yang memikat pada kubus kecil ini. Ia memiliki konsep yang sederhana, elegan, namun secara mengejutkan sulit untuk diselesaikan.
Satu demi satu kompetisi lokal diadakan untuk berlomba menyelesaikan rubik, di antaranya American Rubik's Cube Championship (November 1981), United Kingdom Rubik's Cube Championship (Desember 1981), Canadian Rubik's Cube Championship (Maret 1982). Puncaknya, pada bulan Juni 1982 untuk pertama kalinya diselenggarakan Rubik's Cube World Championship di Budapest, di mana orang-orang dari berbagai negara dipertemukan oleh rubik. Kejuaraan ini dimenangkan oleh seorang pelajar Vietnam berumur 16 tahun, Minh Thai, dengan catatan waktu 22,95 detik. Ketertarikan publik pada rubik mulai memudar menjelang tahun 1990. Orang-orang sudah terlalu kesal saat mencoba menyelesaikannya, mengingat keterbatasan informasi saat itu. Sebagian lebih tertarik dengan kehadiran video game elektronik yang lebih modern. Namun hingga hari ini, lebih dari 30 juta rubik telah terjual (belum termasuk merk-merk tiruannya!), menjadikannya diakui sebagai permainan puzzle terlaris di dunia. Bahkan rubik juga disebut-sebut sebagai mainan terlaris sepanjang masa, berdampingan dengan boneka Barbie.
Dengan kemuncurjan internet, rubik akhirnya bangkit dari tidur panjangnya. Pada tahun 2000, petunjuk untuk menyelesaikan rubik telah banyak ditemukan di internet. Demam rubik pun melanda untuk kedua kalinya. Puncaknya terjadi pada tahun 2003, ketika World Championship kedua diadakan di Canada. Rubik dipandang sebagai permainan yang positif, terjangkau, melatih motorik, daya ingat, serta mampu mendorong peminatnya untuk menjalin komunitas dan berkompetisi secara sehat.

IKHTISAR

Speedsolving adalah seni menyelesaikan rubik dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Para pelakunya biasa disebut speedcuber. Bagi mereka, menyelesaikan rubik adalah sebuah olahraga ketangkasan. Mereka tidak hanya mengejar kesenangan, melainkan juga membuktikan diri dan meraih prestasi.

KELEBIHAN

1. Banyak terdapat gambar yang menarik.
2. Penjelasannya sangat rinci.
3. Terdapat indeks untuk kata-kata yang sulit dimengerti.

KEKURANGAN

1. Beberapa kata yang sulit dimengerti tidak terdapat pada bagian indeks.

CONTOH RESENSI BUKU #2

IDENTITAS BUKU

Judul Buku : Dahsyatnya Hypnoparenting
Editor               : Yoan Destarina
Penerbit           : Penebar Plus+
Cetakan           : I. Jakarta 2010, II. Jakarta 2010
Tebal               : iv + 116 Halaman
ISBN              : 978-602-8661-23-2

ULASAN BUKU

Kesuksesan berangkat dari keluarga. Dari keluargalah seseorang dibentuk karakternya. Namun dalam perjalanannya, banyak orang tua yang menemui berbagai kesulitan dalam mendidik anak. Anak malas belajar, tidak suka makan, kurang percaya diri, anak yang nakal, dan masih banyak lagi. Hypnoparenting adalah salah satu solusi bagi para orang tua yang menemui kesulitan tersebut. Hypnoparenting berasal dari hipnosis dan parenting. Hipnosis bukan sihir, hipnosis adalah pengetahuan dan teknik berkomunikasi dengan sistem kerja otak. Sedangkan parenting adalah segala sesuatu yang berurusan dengan tugas-tugas orang tua dalam mendidik anak. Hypnoparenting menggunakan prinsip kerja hypnosis (komunikasi dengan otak) dengan pengetahuan tentang bagaimana mendidik anak dan menjadi orang tua yang mampu memahami perkembangan anak untuk menuju kehidupan yang baik, sukses dan bahagia.
Orang tua menjadi pelaku penting dalam hypnoparenting ini. Dalam prakteknya, hypnoparenting adalah proses sugestif dengan menanamkan kalimat-kalimat yang bersifat positif, contohnya, “kamu pintar dan rajin. Kamu senang belajar dan selalu mengerjakan tugas dengan baik.” Waktu paling efektif untuk memasukkan sugesti adalah menjelang tidur, saat bangun tidur, pada waktu emosi anak meningkat, dan ketika anak dalam keadaan terkejut. Agus Sutiyono selaku penulis sudah mulai membisikkan kalimat sugestif terhadap anaknya, Citra Amalia Putri Sutiyono. Kalimat yang selalu ia bisikkan setiap bangun tidur sejak Citra berusia 6 bulan tersebut yaitu, “Terima kasih, ya Allah, aku sehat, aku bahagia, aku pintar, dan baik hati.” Sugesti yang diberikan pada saat yang tepat ini ternyata membentuk betul perilakunya. Citra tumbuh dengan emosi yang seimbang dan disenangi teman-teman.
Dalam hypnoparenting, orang tua harus memiliki kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang tinggi untuk membantu anak-anak mengoptimalkan kemampuan. Anak sebaiknya tidak dididik agar cerdas tapi juga mampu berfikir kreatif, imajinatif, dan mempunyai emosi yang stabil. Kreativitas orang tua dibutuhkan dalam menggunakan kalimat sugesti yang tepat untuk anak.
Buku ini merupakan hasil belajar sang penulis di fakultas Magister Manajemen IPMI Jakarta dengan spealisasi program Manajemen Sumber Daya Manusia Pada tahun 1996. Selain itu, penulis juga mengikuti Indonesia-Australia Specialist Project II, Human Rights Program-University Of Sidney (UTS), Australia pada tahun 2003. Ditulis dengan bahasa yang lugas nan santai dan berorientasi ke dalam keluarga, buku ini sangat cocok dibaca oleh para orang tua. Kalimat-kalimat sugestif dalam buku ini sangat beragam dan telah diterapkan oleh penulisnya sendiri yang memang berhasil membentuk perilaku anaknya. Selain mendapat ilmu tentang cara mendidik, mengubah atau membentuk perilaku anak, orang tua juga bisa mendapat berbagai ilmu pengetahuan yang bisa mereka ajarkan kepada anak-anak mereka, seperti pengertian hipnotis, mekanisme kerja otak dan lain sebagainya. Buku ini juga cocok dibaca oleh kalangan remaja. Kalimat-kalimat sugestif yang ada pada buku ini sangat bermanfaat dan dapat mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Desain gambar animasi yang banyak terdapat dalam buku ini justru menjadi kekurangan karena buku ini berorientasi dalam kehidupan keluarga yang ditujukan untuk dibaca orang tua. Selain itu, ada banyak istilah-istilah dalam bahasa asing yang umumnya sukar dipahami oleh para orang tua. Namun, terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini layak dimiliki oleh semua kalangan khususnya orang tua yang menginginkan anaknya menjadi pribadi yang baik. Mendidik anak layaknya menanam pohon, jika kita benar secara perlakuannya, maka kita juga yang akan memetik dan menikmati hasilnya. Sungguh Dahsyatnya Hypnoparenting.











1.Identitas Buku
A.Judul Buku:Pemukiman
B.Nama penulis:Ananta Rio A.S.
C.Penerbit:CV.titik terang jakarta
D.Tebal:56 Halaman
E.Cetakan ke 1 tahun:Cetakan pertama tahun 1981

 
2.LATAR BELAKANG
sedah kita ketahui bahwa didunia ini limbah nya sudah melimpah.khususnya di indonesia sudah berapa limbah yang tercemar termasuk limbah pemukiman juga dapat disebebkan oleh tumbuh tumbuhan,hewan,yang membuang di sembarangan tempat.limbah pemukiman masyarakat mempunyai dampak bagi pertumbuhan mahkluk hidup.
pemukiman masyarakat sudah merupakan salah satu hal yang hatrus ditangani dengan baik dan benar.
dengan ini pemerintah sudah menerapkan salah satu hal untuk mencegah hal tersebut.yaitu dengan membuat peraturan disekitar lingkungan masyarakat

3.Penulis menyampaikan ringkasa buku yang di Resensi
Marjuki seorang anak laki laki,ia tingggal bersama anak dan keluarganya di sebuah desa yang terletak di bawah lereng gunung yang sudah gundul.
ketika hujan turun terus menerus selama 2 hari desa marjuki porak poranda akibat dilanda air bah yang berasal dari lereng gunung yang gundul.
seluruh penduduk desa menetujui rencana pemerintah untuk memindahkan mereka ke pemukiman yang baru.kecuali pa marta,kakek marjuki,orang tertua di desa itu.pak marta tidak mau meninggalkan tanah dan makam leluhurnya.
setelah pak lurah pun tidak berhasil membujuk pak marta.marjuki berpura pura kesurupan roh leluhur kakeknya dan menyuruh pak merta untuk ikut pindah ke pemukiman baru.
berkat akal si marjuki itu akhirnya pak marta bersedia pindah dari desanya.
4.Jenis Buku:Fiksi 
 
5.Keunggulan dan kekurangan buku:
 
Keunggulan : 
kita menyadari bahwa lingkungan dikehidupan sangat penting untuk dijaga karena melibatkan kesehatan fisik dan ketenangan jiwa.setidaknya kita tahu bagaimana untuk tidak memikirkan diri sendiri saja dan belajar memberikan pengertian kepada orang lain.didalam buku ini terdapat banyak pelajaran yang dapat kita pelajari.
Kelemahan : 
Buku ini sistematika penulisannya kurang lengkap karena tidak terdapat penutup dan kata pengantar
Kesimpulan:
Kebohongan demi kebaikan itu justru tidak selamanya salah.
berbohong demi kebaikan tidak akan membuat orang menderita.buku ini cocok untuk dibaca oleh semua kalangan.karena mengandung makna tentang arti kehidupan dan pelajaran pelajaran penting untuk kita pelajari
Saran:
Buku ini harus nya di lengkapi dengan Kata pengantar dan bagian penutupnya

Minggu, 26 Oktober 2014

Film Bandung Kudu Manggung
 
NILIK kana gebyarna acara Féstival Film Bandung 2012, tangtu baé ninggalkeun hiji pananya: mana ari film produksi urang Bandung? Padahal, dina sajarah perfilman Indonésia, sidik pisan anu ngamimitian nyieun film téh datangna ti Bandung. Sanajan anu boga vokalna urang Walanda, tapi film anu dijieunna Bandung pisan, malah Sunda pisan, nyatana film “Loetoeng Kasaroeng”,  anu dina taun 1926 diproduksi ku NV Java Film Company, kalayan sutradarana  G. Kruger jeung L. Heuveldorp. Kilang kitu, para pamaénna mah  diwengku ku aktor-aktris pribumi. Ieu film munggaran di Indonésia téh mimiti diputer di kota Bandung, ti tanggal 31 Desember 1926 nepi ka 6 Januari 1927 di dua bioskop kakoncara, Bioskop Metropole jeung Bioskop Majestic.
Ku ayana urang Belanda milih tatar Sunda anu munggaran diangkat kana film, tangtuna ogé mibanda rupaning alesan. Moal sapati-pati wani nyieun film anu mibanda latar Sunda, lamun teu kasawang yén film-film Sunda téh bakal dipikaresep ku balaréa. Di tatar Sunda gudangna carita. Lain baé film Sunda anu munggaran manggung, da puguh novél anu pangheulana manggung (medal) ogé taya lian novél nu ngagunakeun basa Sunda, anu judulna “Baruang ka Nu Ngarora”, karangan DK. Ardiwinata, dipedalkeun ku Balé Pustaka, taun 1914.
Forum Film Bandung (FFB) katémbong leuwih mibanda kapercayaan diri kana kualitas film anu mibanda latar kasangtukang Sunda. Katitén FFB kana film Sunda, salahsahijina dibuktikeun ku digelarna diskusi anu jejerna “Mengangkat Karya Sastra Sunda ke Dalam Film Indonesia”. Najan perelu ngalalanyahan deui ti mimiti, tapi lamun miang tina sajarah perfilman, sigana cita-cita FFB téh lain saukur impian. Di satengahing palagan téknologi perfilman nu beuki maju, tangtuna ogé urang Sunda ulah saukur jadi nu lalajo. Film Sunda, kudu karasa nyundana, ulah siga film Indonésia anu teu pati karasa Indonésiana, salian ti basana.
Lamun urang lalajo film India, ti mimiti detik awal dina tayanganna ogé geus karasa Indiana. Teu béda jeung lalajo film Mandarin, koréa, Jepang, jeung sajabana. Para sinéas film di India, kalintang miduli tur reueus kana budayana. Ku kituna, dina saban lalakon film, salawasna némbongkeun jati-dirina, tur henteu sérab ku meuweuhna budaya Barat anu dianggap leuwih modern. Tug nepi ka aksarana ogé tetep dipertahankeun. Ku kituna, lamun film India atawa Mandarin didabing ku basa Indonésia, tetep baé moal dianggap film Indonésia. Aya rasa anu teu bisa dirobah, boh dina lalakonna, pon kitu deui dina cara ngagarapna.
Kiwari dunya film di Indonésia didominasi ku urang Jakarta. Para sineas film lolobana lulusan IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Rumah Produksi riab di Jakarta. Ku kituna, lamun urang Bandung hayang makalangan di dunya film, tangtu kudu wani ngaprak ka Jakarta. Anu matak hélok, urang Jakarta mindeng ngagunakeun lokasi syuting di Bandung. Jadi, naha atuh lain urang Bandung sorangan anu nyarieun film di Bandung, tur hasilna adukeun jeung produk Jakarta.
Sawatara taun katukang, di Bandung kungsi aya Rumah Produksi nu ngaranna ESA Production. Éta ogé produserna mah lain urang Sunda. Kilang kitu, film anu dijieunna loba nu némbongkeun latar Sunda, katut aktor-aktrisna ngarékrut urang Sunda. Hasilna bisa ditayangkeun di télévisi nasional nu kakoncara. Hanjakal pisan, lila-lila beuki kaléléd ku produksi Jakarta, tug nepi ka antukna eureun mroduksi. Ti saprak harita, tacan kungsi kacaturkeun deui Rumah Produksi anu produktip nyieunan sinétron. Padahal, lamun ngeunteung kana lalakon ESA Production mangsa keur jaya, sabenerna urang Sunda ogé bakal mampuh nyieun Rumah Produksi anu medalkeun film-film nu mibanda latar Sunda.


KONGRÉS PAMUDA SUNDA, “EUNTEUNG BEUREUM” NU JADI MARGA
Teungteuingeun eunteung beureum,
Keretas daluang Cina
Teungteuingeun deungeun-deungeun,
Neken téh kabina-bina
Paneungteuinganan deungeun dina dasawarsa 1950-an anu jadi kasangtukang diayakeunana Kongrés Pamuda Sunda téh. Mimitina muncul isu pulitik “non” jeung “co”. Urang Sunda dituduh “co”, gawé bareng jeung Walanda dina mangsa revolusi kamerdekaan taun 1945-1949. Hartina dituding hianat kana perjoangan.

Terus dituduh provinsialistis jeung ngagegedékeun sukuismeu deuih. Loba gegedén urang Sunda anu digésér sacara teu étis tina kalungguhanana di pamaréntahan di Tatar Sunda. Nu ngagantina deungeun-deungeun anu tacan puguh kamampuhna.

Gangguan kaamanan teu eureun-eureun. Gorombolan Kartosuwiryo ngagalaksak padésaan. Rajakaya rahayat dirampas, imahna diduruk, nyawana didorhos (dipaténi). Nya loba urang pasisian anu ngungsi ka kota-kota bari henteu mawa bekel modal jeung kaparigelan. Puguh wé hirupna kadungsang-dungsang.
Para nonoman nu rék nyiar pangarti ka paguron luhur réa barebedanana. Hayang kuliah téh kudu indit ka Yogyakarta atawa Jakarta. Harita mah di lembur sorangan mah tacan renung paguron luhur cara ayeuna. Aya gé ITB (Institut Téhnologi Bandung), tapi da éta mah keur para nonoman sa-Nusantara, katurug-turug ngan ngulik élmuning téhnik baé.

***
TINA beurat ku bangbaluh, kuniang urang Sunda téh hudang, terus singkil. Dug-deg organisasi kasundaan anu udaganana pikeun ngabéla diri, ngahadéan nasib, jeung merjoangkeun pikahareupeun. Boh sepuh boh no­noman parahi ngadegkeun organisasina masing-masing. Aya Pangauban Sunda, Sunda Budaya, Daya Sunda, Daya Mahasiswa Sunda, Nonoman Sunda, katut Putra Sunda.

Sangkan henteu aing-aingan, organisasi urang Sunda anu réa rupana téh aya nu meungkeut. Sawatara organi­sasi ti kalangan sepuh ngahiji dina Badan Musawarah Sunda (BMS) anu dipingpin ku Mr. Iwa Kusuma Sumantri. Ari organisasi para nonomanna ngahiji ngariung dina dapuran Front Pamuda Sunda (FPS).

Gagasan Kongrés Pamuda Sunda jolna ti Ajip Rosidi, anu harita umurna kakara 18 taun. Puguh wé aya kasang tukangna. Harita sumebar pamflet ti Front Pamuda Sunda anu ditawis ku Adeng S. Kusumawijaya minangka Ketua Umum, katut Ajam Syamsupraja, minangka Sekretaris Jenderal. Pamflét téh kalawan ngagunakeun basa anu sugal garihal eusina ngiritik, malah nyarékan ka pamingpin Partéy Nasional Indonesia (PNI) Jawa Barat, pamaréntah pusat (Présiden Sukarno), jeung urang Jawa.

Réa nu méré koméntar, babakuna papada urang Sunda. Aya nu panuju, aya deuih nu nolak kana eusi jeung cara nepikeunana éta pamflét. Urang Sunda parebut bener jeung urang Sunda.

Dina karéta api ka-Bandungkeun, pok Ajip nyarita ka baladna, Olla S. Sumarna Putra, “Lamun kitu, perelu pisan diayakeun hiji Kongrés, sangkan sakabeh urang Sun­da, tokoh-tokohna, bisa madungdengkeun naon jeung kumaha kahayangna. Ulah cara ayeuna, dibandunganana dina surat-surat kabar nu paraséa téh bet Sunda pada Sunda, pédah béda-béda pamanggih jeung kapentingan; nu temahna mah baris ngarugikeun urang Sunda umumna baé.”
Gagasan pikeun ngayakeun Kongrés, meunang pangbagéa ti papada aktivis kasundaan. Prak tatahar, antarana ku jalan ngariung di bumina Létnan Kolonel Akil Prawiradirja, di Jalan Salatiga, Jakarta. Ngariung deui di Bogor, di panganjrekanana Saikin Suriawijaya, anu harita masih keneh mahasiswa IPB (Institut Pertanian Bogor), di Jalan Tampomas.

Nu ruang-riung téh sawatara pamuda katut mahasis­wa Sunda, babakuna anu dumuk di Bogor jeung Jakarta. Aranjeunna mutuskeun, yén Kongrés Pamuda Sunda ba­ris diayakeun di Bandung, puseur dayeuh Tatar Sunda, tur waktuna bulan Oktober bari sakalian miéling Sumpah Pamuda.

Panitia katut rarancang Kongrés disusun dina riungan di Gang Maksudi, Pabaki, Bandung, di bumina Tatang Suriaatmaja, bulan Séptémber 1956. Nu ngariungna leuwih rempeg. Aya utusan ti Jakarta, Bogor, Tasikmalaya, Ciamis, Cianjur, jeung ti kota séjénna, sagédéngeun wawakil pribumi ti Bandung.

Panitia Kongrés dipingpin ku R.A.F. (Rahmatullah Ading Afandie) minangka Ketuana kalawan Tatang Kosasih nu jadi Sékértarisna. Demi masalah anu rék di-sawalakeun nyindekel kana tilu widang: (1) kaamanan, (2) sosial ekonomi, jeung (2) kabudayaan. Anu kapeto ngajejeranana nyaéta Jerman Prawirawinata katut Hamara Éffendi dina widang kaamanan, Sukhyar Tejasukmana katut Dayat Harjakusumah dina widang sosial ékonomi, jeung Buyung Saleh Puradisastra katut Mh. Rustandi Kartakusuma dina widang kabudayaan.

Méméh prung Kongrés, panitia ngayakeun sosialisasi Kongrés ka sakuliah Tatar Sunda, sakalian umajak sangkan réa nu milu Kongrés. Ari nu ngadongdon ka daérah-daérah téh aya sawelas urang, nyaéta R.A.F., Tatang Kosasih, Saikin, Alibasyah, Sanusi, Ajam Syamsupraja, Parma D. Sunarya, Nana Sutresna, Utuy Tatang Sontani, Olla S. Sumarna Putra, jeung Ajip Rosidi.

Umumna panarimaan ti urang daérah kayaning ti Subang, Sumedang, Cirebon, Kuningan, Ciamis, Tasik, Garut téh hadé pisan. Urang daérah gé nyanggupan rék ngirimkeun utusanana. Sajeroning kukurilingan téh anggota rombongan nyaksian sorangan kumaha gangasna gorombolan Kartosuwiryo jeung kumaha matak ngerikna kasungkawa rahayat.
Luyu jeung nu geus ditataharkeun, Kongrés Pamuda Sunda diayakeun di Bandung, tanggal 4-7 Nopember 1956. Acara pembukaaanna lumangsung di Hotél Orient (kiwari geus sirna), Jalan Asia Afrika. Ari sawalana mah lumangsung di gedong YPK (Yayasan Pusat Kabuda­yaan), Jalan Naripan.

Dina prungna Kongrés, teu wudu réa pisan nu miluna. Basa Kongrés dibuka nu nungkulan moal kurang ti 300 urang. Lian ti utusan ti daérah-daérah sa-Tatar Sunda (20 kabupatén jeung kotabesar), aya deuih utusan ti Jakarta, Yogyakarta, Semarang, jeung Tanjungpinang minangka wawakil masarakat Sunda nu mangkuk di éta kota. Dijumlah-jamléh, utusan nu datang ka Kongrés téh 111 urang.

Gegedén gé sarumping. Ti antarana baé aya Walikota Bandung, R. Enokh; Wakil Panglima TT III (kiwari Kodam III Siliwangi) Letkol Sambas; Mentri Dalam Negeri RI (anu munggaran) manten R.A.A. Wiranatakusumah, Mentri Dalam Negeri manten Sewaka, Mentri Pertahanan manten Mr. Iwa Kusuma Sumantri, katut Kolonel Sukanda Bratamanggala.

Basa biantara poéan muka Kongrés, 4 Nopember 1956, ba’da Magrib, Ketua Panitia R.A.F. nyebutkeun, “Pamuda nyekel tanggung jawab anu bangga dina sagala pasualan masarakat. Soal daérah jadi hiji soal munel dina pasualan-pasualan nasional. Masarakat Pasundan beuki dieu beuki ramijud dina sagala lapangan. Beuki meuweuhna rasa katugenah jeung kateusugema nu nyangkaruk di lingkungan masarakat Sunda, ku meuweuhna kapincangan-kapincangan nu karasa.

“Pasualan daérah teu bisa ngan wungkul dipasrah-keun ka deungeun-deungeun, tapi pangpangna kudu di-garap ku urang daerah pribadi… Panitia dibere kawajib-an ngawujudkeun Kongrés Pamuda Sunda nu tujuanana baris nyieun jalan nu kongkrit, nu positif, enggoning me-reskeun ieu kaamanan lembur matuh nu sakieu kacekek-na, pikeun ngahadean sosial ekonomi nu sakieu ramijud-na, sarta madungdengkeun soal kabudayaan Sunda, anu ayeuna tanda hirupna téh pedah ngambekan wungkul,

“Jadi… .ieu Kongrés sanés badé jadi aréna pikeun ngaduregengkeun kateusugema, tapi bakal jadi musawarah pikeun manggihan jalan-jalan anu kongkrit pikeun ngubaran katugenah jeung kateusugema nu aya, sarta pikeun nyegah timbulna deui katugenah jeung kateusugema.”

Ti para gegedén, nu maparin biantara téh antarana ti Kolonel Suprayogi minangka Pj. Panglima T.T. III Siliwangi. Biantarana biantara tinulis anu didugikeun ku Letkol. Sambas. Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Ketua Badan Musawarah Sunda, deuih nu ngiring sasauran téh.

Saur Pj. Panglima T.T. Ill Siliwangi, “Waktu yang Saudara-saudara pilih (di antara Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan) … sangat tepat sekali. Tempat yang Saudara-saudara pilih ialah kota Bandung, ialah tempat di mana beberapa hari lagi akan dilangsungkan pelantikan Dewan Konstituante, Déwan yang akan menyusun Undang-undang Dasar yang tetap bagi negara kita…

“Tidak ada gunanya kita marah karena kekecewaan-kekecewaan yang telah dialami. Tidak ada gunanya kita menyesali kesalahan-kesalahan di masa lampau. Kekece­waan dan kesalahan itu justru harus bisa kita pergunakan untuk membenarkan langkah di masa depan, supaya ke­salahan jangan berulang, supaya kekecewaan jangan melimpah.”

Ari saur Mr. Iwa Kusuma Sumantri, “Pamuda Sunda perlu leuwih mentingkeun olah-raga keur kaséhatanana, perlu leuwih mentingkeun pangajaran keur ngangkat kanyahona, sarta perlu leuwih giat digawé keur perékonomianana. Sanajan kitu, ku lantaran urang Sunda hirup kumbuh sarta berjuang babarengan jeung suku-suku bangsa Indonesia lianna, tangtu baé rasa kasundaanana kasengker ku rasa solidaritas jeung suku-suku bangsa Indonésia nu séjén téa…

Tapi tangtu bae urang henteu sudi kasered batur, henteu sudi jadi kékéséd batur. Ku lantaran éta para nonoman Sunda ayeuna ngoréjat hudang singkil taki-taki maju ka hareup dina sagala lapangan élmu pengetahuan jeung perékonomian. Di sawatara nagara séjén mah pulitik nyanghareupan pasualan sukubangsa téh henteu picik saperti di dieu. Basa jeung kamajuan suku-suku bangsa téh kacida diperhatikeunana sarta dimumuléna. Ngahaja diadegkeun akademi-akademi suku bangsa nu ngulik basa-basana, sajarahna sarta kabudayaanana. Malah tulisanana nu geus tara dipaké ogé dihirupkeun deui sar­ta dimumulé. Para nonomanana ngahaja disarakolakeun maké ongkos nagara.”


Seuhah Lata-lata

LAMUN diibaratkeun kana rarasaan mah, kahirupan jaman kiwari téh keur meujeuhna lada kabina-bina, anu  dina dongéng sasatoan mah disebutna téh seuhah lata-lata! Dina widang kabudayaan, ékonomi, pulitik, hukum, jeung sajabana éstuning teu weléh harénghéng tur matak jangar ngabandunganana. Krisis idola geus nembrak kanyataanana. Masarakat leuwih resep ka pamaén sépakbola batan ka para pamingpin nagara. Lantaran, kiwari geus ngurangan kapercayaan téh ku ayana pamaréntah katut wakil rahayat tacan nedunan jangji-jangjina anu kalintang araruduh dina jaman kampanye.
Kaayaan pamaréntahan téh asa leuwih deukeut kana bobodoran. Contona ngistrénan kepala daérah di LP. Sidik matak ditahan ogé ku lantaran jadi tersangka korupsi, tapi keukeuh diistrénan. Jadina matak pikaseurian basa manéhna ngucapkeun jagnji jeung sumpah jabatan, anu jelas-jelas ti saméméhna ogé geus dirempak. Rék kumaha rayat percaya ka pamaréntah nu siga kitu? Wakil rayat ogé katingalina taya ketak nanaon, lantaran studi banding ngeunaan étika ogé kapan kalah ka Yunani. Padahal lamun hayang neuleuman étika linuhung, wakil-wakil rayat téh asa leuwih hadé studi banding ka wewengkon nu mibanda ajén-inajén budaya linuhunng. Dianataran neuleuman kaarifan lokal, ajén budaya lemah cai nu kacida linuhung, diajénan ku masarakat dunya, sarta awahing ku resep mah apan aya anu diiwat tur disaluyukeun jeung budaya nagarana. Ari nu gogana, kalah apruk-aprukan ka Yunani, anu teu hir teu walahir, tur moal nyambung jeung kapribadian bangsa Indonésia.
Bobodoran séjénna nu keur meujeuhna ditaranggap téh contona kasus Gayus Tambunan, nu teu weléh jadi bahan catur. Ongkoh dibérok, tapi bisa ulin ka Bali jeung luar nagri. Cacak anu teu dibérok ogé apan sakitu héséna hayang ngahajakeun ulin ka Bali, komo ka luar nagri. Éta téh kakara Gayus, anu jabatanna ogé teu sabaraha luhur. Komo atuh pajabat saluhureunana, tangtu baé ngahunang-ngahening téh tangtuna lain akon-akon. Hanjakal nu nanjeurkeun hukum téh henteu kumawani ngabongkar kelas kakapna mah, sangkilang geus sakitu écésna katerangan ti Gayus. Kétang, ngurus Gayus ogé sakitu ketar-ketirna, rupaning aturan diburak-barik ku Gayus. Seuhah lata-lata pokona mah.
Keur meujeuhna seuhah lata-lata, ana térékél téh rega céngék ngajaul. Réa jalma nu geus teu kabeuli céngék. Atuh anu maksakeun meuli ogé ukur tamba henteu wé keur nambahan samara. Kadaharan nu lada geus kaitung langka, anu antukna hayang seuhah lata-lata téh merelukeun waragad nu mahal. Teu sagawayah jalma bisa seuhah lata-lata, kajaba sakadang monyét anu malingan céngék di kebon Pa Tani. Ku ayana Sakadang Monyét gogorowokan “Seuhah Lata-lata”, antukna katohyan ku Pa Tani. Nu boga dosana kabur. Ari nu kacerekna Sakadang Kuya, anu teu bisaeun lumpat tarik. Sakadang Kuya rék dipeuncit ku Pa Tani, tapi saméméhna dikurungan heula. Sabot keur dikurungan, Sakadang Monyét ngalongok. Ti dinya Sakadang Kuya meunang akal keur ngabales kaculasan Sakadang Monyét. Ceuk Sakadang Kuya, manéhna rék dikawinkeun ka anakna Pa Tani nu kalintang geulis. Puguh baé Sakadang Monyét kabitaeun. Sakadang Monyét ngolo sangkan anu dikurungan téh dihilian baé ku manéhna. Sakadang Kuya satuju, kalayan saratna ménta digandong tur dialungkeun ka leuwi. Atuh geus sapuk kitu mah, Sakadang Monyét teu kalékéd nedunan kahayang Sakadang Kuya, sarta anu dikurungan téh dihilian. Teu béda sigana jeung Kasiem anu ditukeuran ku Karni di pangbérokan jaman kiwari.
Isukna Pa Tani geus tatahar rék meuncit Sakadang Kuya. Atuh puguh Sakadang Monyét kacida ngaranjug. Ngabayangkeun rék dikawinkeun jeung anak Pa Tani, kalah dipangasahkeun bedog. Hiji-hijina jalan pikeun nyalametkeun diri nyaéta api-api paéh. Teu béda jeung para koruptor jaman kiwari, anu sok papaéhan, mangsa geus katohyan ngabangsat duit rayat.
Perelu dibebenah deui cara ngokolakeun nagara téh. Pangpangna dina pasulan étika. Piraku mani geus taya kapeundeul pisan ngabohongan rayat jeung ngagasak duit rayat téh. Mangsa duit pajeg digasak ku Gayus sabalad-balad, Dirjen Pajak masih kénéh taya kapeundeul masang iklan dina télévisi, nitah masarakat sangkan tumut mayar pajeg, kalayan ngagunakeun dialog nurutan Naga Bonar, “Apa kata dunia?” Padahal, dunya mah moal nyarita nanaon lamun masarakat geus teu bisa mayar pajeg ogé. Justru “apa kata dunia” téh lamun pamaréntah henteu bisa ngabongkar kasus Gayus tug nepi ka kacerek jeung tingkat gegedénna.
Enyaan, teu béda jeung dongéng Sakadang Monyét maling céngék di kebon Pa Tani. Nu seuhah Lata-lata sakadang Monyét, ari nu dicerekna Sakadang Kuya. Yu geura, urang mukaan deui dongéng-dongéng sasatoan nu asli gumelar di tatar Sunda. Tuluy bandingkeun jeung kahirupan jaman kiwari.***



Atikan Kasenian di Sakola, Napak dina Budaya Bangsa


ANU pangheulana jadi pananya téh tangtuna ogé: naon tujuanana ngayakeun atikan kasenian di sakolaan, pangpangna tingkat SD? Puguh baé tujuanna lain pikeun ngajadikeun sakur siswa sangkan jadi seniman. Perkara isuk jaganing géto aya diantarana nu jadi seniman, éta mah tangtu henteu matak ngarobah tujuan utama iayakeunana atikan kasenian di sakola. Siswa tingkat SD, mangrupa mangsa nyorang atikan formal anu bakal nangtukeun ngabentukna karakter siswa ka hareupna. Diayakeunana atikan kasenian di sakola téh tujuan utamana mah pikeun ngatik sangkan siswa jadi kréatif.
Ku ayana atikan kasenian, siswa ogé dilatih pikeun mibanda kamampuh nalar, kalemesan budi, imajinasi, sarta kaseukeutan rasa dina nyawang kahirupan  di lingkungan sosial budaya Indonésia. Jadi, atikan kasenian téh henteu sakadar kalangenan, anu diayakeun dapon henteu. Lantaran, atikan kasenian bisa raket patalina jeung mata ajaran séjénna. Nu matak, sok aya istilah seni ngajar, seni diajar, jeung seni séjénna. Perkara éta nuduhkeun yén naon rupa perkara ogé bakal leuwih anteb lamun ditumpangan ku seni.
Pamaréntah kalintang surti kana pentingna atikan kasenian, pangpangna anu patali jeung kabudayaan. Ku kituna, dina PP No. 19, Taun 2005 ngeunaan Standar Nasional Pendidikan, kecap seni salawasna dihijikeun jeung budaya (seni dan budaya). Upama diteuleuman leuwih jauh, dihijikeunna kecap seni jeung budaya téh mibanda harti yén atikan kasenian salawasna kudu nyoko kana budaya di lingkungan séwang-séwangan. Lantaran bangsa Indonésia mibanda kabeungharan budaya, tangtu baé di saban wewengkon téh nyampak seni jeung budaya nu mandiri, sarta béda jeung seni budaya séjén. Tong boro nyarita nasional, dalah di tatar Sunda ogé kalintang beungharna. Saban wewengkon, sasarina miboga seni jeung budaya nu mibanda ajén-inajén punjul, sarta boga ciri has séwang-séwangan.
Seni jeung budaya ieu pisan anu perelu ditépakeun ka barudak sakola, sangkan mikawanoh, anu kadituna dipiharep mikacinta. Numuwuhkeun rasa kacinta tur kareueus kana seni jeung budaya sorangan, kalayan lain hartina nutup diri kana seni jeung budaya global. Taya salahna mikawanoh tur mikaresep budaya mancanagara, tapi henteu mopohokeun seni jeung budaya banda sorangan. Lanataran, seni jeung budaya bangsa, tangtu karakteristikna béda jeung seni budaya deungeun.
Hususna di tatar Sunda, tangtu baé anu perelu diwanohkeun téh seni budaya Sunda. Réa urang deungeun nu ngahaja ngayakeun panalungtikan ngeunaan seni budaya Sunda, ku lantaran ngarasa kataji tur nganggap seni budaya Sunda linuhung. Tangtu baé kalintang lebarna lamun urang Sunda sorangan henteu mikawanoh.
Ngawanohkeun seni budaya Sunda bisa dimimitian ku népakeun basa Sunda jeung rupaning kamonésan basa Sunda dina ajén sastra, anu nyampak dina eumpaka lagu, sajak, carpon, jeung sajabana. Perelu ditandeskeun deui yén basa Sunda téh henteu kampungan. Basa Sunda ogé bisa jadi basa rupaning paélmuan. Komo deui lamun ngagedurkeun népakeun kabiasaan ngagunakeun aksarana. Mémang, aksara Sunda geus langka digunakeun, lantaran kalintang banggana lamun ngamimitian ngawanohkeun aksara Sunda, anu kakara kapaluruh sababaraha taun katukang; nepi ka kiwari ogé masih kénéh réa nu nganggap yén aksara Sunda téh “ha na ca ra ka”. Padahal nu saéstuna mah aksara Sunda téh “ka ga nga…”. Jadi, wajar lamun bangga diterapkeun dina kabiasaan sapopoé. Ku kituna, aksara Sunda mah geus puguh hésé, tinggal basana nu kudu digedurkeun téh, lantaran basa Sunda mah masih kénéh diparaké dina kahirupan sapopoé. Malah dina tayangan tivi nasional ogé, basa Sunda mindeng dipaké, sanajan ngan ukur di sabudeureun bobodoran. Kilang kitu, ku mindeng dikedalkeun ogé apan bisa nuduhkeun yén basa Sunda téh masih kénéh aya dikieuna, dipikawanoh, tur masih loba anu ngagunakeun dina kahirupan sapopoé. Nu leuwih utama, basa Sunda téh basa rasa, nu kalintang anteb tur nyurup digunakeun ku para nonoman urang Sunda.***


Kamis, 23 Oktober 2014

Atikan Kasenian di Sakola, Napak dina Budaya Bangsa
 - ANU pangheulana jadi pananya téh tangtuna ogé: naon tujuanana ngayakeun atikan kasenian di sakolaan, pangpangna tingkat SD? Puguh baé tujuanna lain pikeun ngajadikeun sakur siswa sangkan jadi seniman. Perkara isuk jaganing géto aya diantarana nu jadi seniman, éta mah tangtu henteu matak ngarobah tujuan utama iayakeunana atikan kasenian di sakola. Siswa tingkat SD, mangrupa mangsa nyorang atikan formal anu bakal nangtukeun ngabentukna karakter siswa ka hareupna. Diayakeunana atikan kasenian di sakola téh tujuan utamana mah pikeun ngatik sangkan siswa jadi kréatif.

Ku ayana atikan kasenian, siswa ogé dilatih pikeun mibanda kamampuh nalar, kalemesan budi, imajinasi, sarta kaseukeutan rasa dina nyawang kahirupan  di lingkungan sosial budaya Indonésia. Jadi, atikan kasenian téh henteu sakadar kalangenan, anu diayakeun dapon henteu. Lantaran, atikan kasenian bisa raket patalina jeung mata ajaran séjénna. Nu matak, sok aya istilah seni ngajar, seni diajar, jeung seni séjénna. Perkara éta nuduhkeun yén naon rupa perkara ogé bakal leuwih anteb lamun ditumpangan ku seni.

Pamaréntah kalintang surti kana pentingna atikan kasenian, pangpangna anu patali jeung kabudayaan. Ku kituna, dina PP No. 19, Taun 2005 ngeunaan Standar Nasional Pendidikan, kecap seni salawasna dihijikeun jeung budaya (seni dan budaya). Upama diteuleuman leuwih jauh, dihijikeunna kecap seni jeung budaya téh mibanda harti yén atikan kasenian salawasna kudu nyoko kana budaya di lingkungan séwang-séwangan. Lantaran bangsa Indonésia mibanda kabeungharan budaya, tangtu baé di saban wewengkon téh nyampak seni jeung budaya nu mandiri, sarta béda jeung seni budaya séjén. Tong boro nyarita nasional, dalah di tatar Sunda ogé kalintang beungharna. Saban wewengkon, sasarina miboga seni jeung budaya nu mibanda ajén-inajén punjul, sarta boga ciri has séwang-séwangan.

Seni jeung budaya ieu pisan anu perelu ditépakeun ka barudak sakola, sangkan mikawanoh, anu kadituna dipiharep mikacinta. Numuwuhkeun rasa kacinta tur kareueus kana seni jeung budaya sorangan, kalayan lain hartina nutup diri kana seni jeung budaya global. Taya salahna mikawanoh tur mikaresep budaya mancanagara, tapi henteu mopohokeun seni jeung budaya banda sorangan. Lanataran, seni jeung budaya bangsa, tangtu karakteristikna béda jeung seni budaya deungeun.

Hususna di tatar Sunda, tangtu baé anu perelu diwanohkeun téh seni budaya Sunda. Réa urang deungeun nu ngahaja ngayakeun panalungtikan ngeunaan seni budaya Sunda, ku lantaran ngarasa kataji tur nganggap seni budaya Sunda linuhung. Tangtu baé kalintang lebarna lamun urang Sunda sorangan henteu mikawanoh.

Ngawanohkeun seni budaya Sunda bisa dimimitian ku népakeun basa Sunda jeung rupaning kamonésan basa Sunda dina ajén sastra, anu nyampak dina eumpaka lagu, sajak, carpon, jeung sajabana. Perelu ditandeskeun deui yén basa Sunda téh henteu kampungan. Basa Sunda ogé bisa jadi basa rupaning paélmuan. Komo deui lamun ngagedurkeun népakeun kabiasaan ngagunakeun aksarana. Mémang, aksara Sunda geus langka digunakeun, lantaran kalintang banggana lamun ngamimitian ngawanohkeun aksara Sunda, anu kakara kapaluruh sababaraha taun katukang; nepi ka kiwari ogé masih kénéh réa nu nganggap yén aksara Sunda téh “ha na ca ra ka”. Padahal nu saéstuna mah aksara Sunda téh “ka ga nga…”. Jadi, wajar lamun bangga diterapkeun dina kabiasaan sapopoé. Ku kituna, aksara Sunda mah geus puguh hésé, tinggal basana nu kudu digedurkeun téh, lantaran basa Sunda mah masih kénéh diparaké dina kahirupan sapopoé. Malah dina tayangan tivi nasional ogé, basa Sunda mindeng dipaké, sanajan ngan ukur di sabudeureun bobodoran. Kilang kitu, ku mindeng dikedalkeun ogé apan bisa nuduhkeun yén basa Sunda téh masih kénéh aya dikieuna, dipikawanoh, tur masih loba anu ngagunakeun dina kahirupan sapopoé. Nu leuwih utama, basa Sunda téh basa rasa, nu kalintang anteb tur nyurup digunakeun ku para nonoman urang Sunda





Basa, Kasenian, jeung Kahirupan Sunda


KU ayana kamekaran téknologi internét nu  ngarambah nepi ka tepis wiring, tétéla mawa pangaruh nu kalintang hadé kana kahirupan basa Sunda. Sanajan téknologi datangna ti deungeun, tapi lain hartina mareuman basa Sunda. Perkara ieu bisa diimeutan dina sawatara jejaring sosial, saperti facebook. Réa diantarana anu tara asa-asa deui ngawangkong téh ku basa Sunda tur bisa kabaca ku balaréa. Malah aya rasa kareueus kana basa Sunda, mangsa bisa ngawangkong ngagunakeun basa indung. Lebah dieu, bisa dicindekeun yén naon rupa anu jolna ti deungeun téh henteu salawasna goréng, malah nu hadé ogé kacida réana. Kilang kitu, kalintang gumantung kana kumaha carana urang ngamangpaatkeunana pikeun kahadéan.
Poé basa indung anu dipiéling saban 21 Fébuari tangtu bakal leuwih haneuteun ku ayana natrat yén basa indung téh hirup kénéh, dina harti masih diparaké ku masarakat dina wangkongan sapopoé. Lain baé basa Sunda, da kaasup basa indung sélér séjénna ogé jadi leuwih hirup ku ayana kamekaran téknologi. Lebah dieu seukeutna sawangan UNESCO téh, anu antukna netepkeun 21 Fébuari minangka Poé Basa Indung Internasional.
Héabna sumanget pikeun ngamumulé basa Sunda ogé bisa karasa ti kalangan rumaja. Contona, dina Féstival Drama Basa Sunda (FDBS) Pelajar anu diayakeun ku Téater Sunda Kiwari, pesertana bisa ngajaul ngaleuwihan targét panitia. Sabada pendaptaran FDBS Pelajar ditutup, kacatet 49 grup téater rumaja nu miluan dina éta féstival. Lain baé patandang ti Jawa Barat, da aya ogé peserta anu jolna ti Banten. Basa Sunda henteu bisa dipisahkeun ku wilayah administratip. Komo deui Banten mah kapan sidik Sunda pisan.
Sajabana ti FDBS Pelajar anu digelar ti tanggal 7 nepi ka 27 Fébuari, di Gedong Kasenian Rumentangsiang ogé maneuh dipidangkeun rupaning kasenian Sunda, kayaning tari tradisonal, sandiwara Sunda, longsér, jeung sajabana. Beuki pikabungaheun basa nengetan personilna leuwih réa  didominasi ku kaum rumaja. Sandiwara Sunda mimiti neut-neutan deui, dipidangkeun sacara maneuh di Rumentangsiang. Grup Sri Murni jeung Ringkang Gumiwang kaasup dua grup sandiwara nu mindeng ngagelarkeun pintonan di Rumentangsiang.
Ku leuwih hirupna basa Sunda, boh di dunya maya atawa dina kahirupan sapopoé, dipiharep mawa pangaruh hadé pikeun masarakat. Budaya Sunda tetep bisa kajaga pikeun ngawangun kahirupan nu silih asah, silih asih, tur silih asuh. Réréongan dina kahadéan, wanoh jeung baraya katut tatangga, muga leuwih natrat deui. Urang Sunda bisa ngigelan kamekaran jaman, bari henteu kudu ngaleungitkeun idéntitasna salaku urang Sunda. Pon kitu deui, taya salahna mikaresep kasenian deungeun kalayan henteu kudu mopohokeun kasenian banda urang.
Dina mangsa globalisasi kiwari, taya deui pilihan iwal ti kudu wani aub tarung dina persaingan. Urang Sunda kudu siap tandang makalangan sangkan henteu jadi galandangan di lembur sorangan. Pangpangna mah nurutkeun data statistik, di lembur sorangan ogé tétéla urang Sunda méh kaléléd ku para pendatang. Widang ékonomi, pulitik, katut kasenian, ulah nepi ka kajadian jati kasilih ku junti. Urang Sunda kudu bisa hirup kalayan walagri di lemah cai Sunda. Ironis kabina-bina mangsa nyaksian urang Sunda nu teu kabagéan pacabakan tur teu mampuh mibanda pangiuhan. Di sisi séjén, réa nu hirupna medah-meduh, malah ngarasa bingung kudu kumaha méakeun raja kaya.
Dina kaayaan sarupa kitu, naha kamana atuh palsapah “silih asih” téh jeung sasama téh? Naha urang bet téga ngantepkeun baraya nu katalangsara di sarakan sorangan? Ku kituna, lain baé ngamumulé basana jeung kasenianna, tapi nu leuwih utama mah miara ajén inajén jeung saripati kalinuhungan budayana pikeun dipraktékeun dina kahirupan sapopoé.
Lamun “silih asah, silih asih, jeung silih asuh” geus bisa diterapkeun dina kahirupan sapopoé, tangtu beuki éndah Sunda téh. Éndah alamna, éndah kahirupanana. Hirup basana, hirup kasenianna, tur hirup budayana. Apan harti “Sunda” téh éndah. Rék ditarjamahkeun kana basa naon ogé, “Sunda” mah salawasna éndah tur reumbeuy kahadéan.***



Tulak Bala Singlar Runtah

PASUALAN runtah di Bandung tacan tuntas sanajan geus aya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di wewengkon Cigending, Cipatat, Kabupaten Bandung. Nepi ka kiwari ogé runtah masih tingtalambru di sawatara jarian samentara. Teu pamohalan,  sababaraha taun deui, runtah bakal ngahunyud. Sabab, produsén runtah beuki rongkah, kalayan henteu diimbangan ku cara ngokolakeun anu idéal. Solusina lain sakadar néangan lahan TPA anu lega. Pangna kitu, lantaran salega-legana lahan anu disayagikeun, lila-lila mah bakal mentung ngagunung nampung runtah urang Bandung.
Mangkaning sasaha ogé geus pada awal, yén runtah téh bisa ngadatangkeun mamala atawa balai. Geus puguh sabangsaning panyakit alatan polusi. Katambah deui pangalaman tragédi ngabeledugna gunung runtah di TPA Leuwigajah nu geus ngubur kampung-kampung sakuliah Leuwigajah jeung tatar Batu Jajar (21/02/05). Geus puguh harta banda, dalah korban jiwa ogé henteu bisa disingkahan ku ngamukna sakadang runtah harita. Hiji bukti yén runtah lain pasualan anu bisa dianggap énténg.
Tina bala alatan runtah, bisa ngalantarankeun balai. Ku ayana kitu, kudu buru-buru mapatkeun jampé tulak bala singlar runtah. Ari tulak bala téh sabangsaning jajampéan atawa dunga pikeun nyingkahan balai. Sasarina jampé tulak bala dipapatkeun dina upacara tradisi ritual, saperti ngaruat jagat, hajat bumi, ngalaksa, jsté. Tulak bala ogé aya anu sok dipirig ku waditra anu dianggap sakral, saperti  angklung gubrag, terbang pusaka, jsté. Tapi jampé jeung téknis tulak bala nyinglar runtah  mah kawilang basajan. Bisa dipapatkeun ku sakumna urang Bandung, kalayan henteu perelu ngalibetkeun Jurig Jarian.
            Saméméh diajar mapatkeun tulak bala singlar runtah, taya salahna maluruh heula kasangtukang runtah. Sanajan henteu kungsi ngawawancara runtah, tapi bisa dipastikeun produsén runtah pangrongkahna mah jolna ti rumah tangga. Sabéngbatan mémang moal katingali loba, da puguh ti saimah téh rata-rata ukur sakérésék atawa dua kérésék. Tapi ari dikalikeun jeung sakabéh imah di Bandung mah, tangtu jumlahna bisa nepi ka ratusan rébu méter kubik. Ku ayana kitu, salah sahiji jalan anu bisa disorang nyaéta ngurangan jumlah runtah ti saban imah.
            Pikeun babandingan, masarakat pilemburan mah asa tara nyanghareupan pasualan runtah. Sabab ti baheula ogé geus surti dina ngokolakeun runtah. Contona misahkeun runtah organik jeung an-organik. Runtah baseuh sasarina diruang, demi runtah garing bisa disalurkeun ka tukang rongsokan atawa diduruk. Naon pasualanana ngaduruk runtah? Sanajan bisa nimbulkeun dioksin anu henteu séhat pikeun diangseu, tapi bakal leuwih henteu séhat lamun patulayah tur ahirna ngotoran lingkungan.
            Di Bandung, mémang pamohalan ngaruang runtah baseuh di sabudeureun imah. Sabab, umumna henteu nyayagikeun lahan pikeun ngurus runtah. Cukup boga tong runtah di hareupeun imah, kalayan henteu ngarasa perelu mikiran ka mana éta runtah dipiceun. Lantaran ngarasa geus mayar iuran runtah téa, antukna loba anu teu harayang nyaho itu-ieuna. Nu penting mah di wewengkonna beresih, kajeun teuing di wewengkon batur mah barala ogé. Nu penting mah di wewengkonna henteu barau runtah, kajeun teuing di wewengkon batur mah barau runtah ogé. Sikep égois anu méh teu karasa, geus nerekab ka sawatara pangeusi Bandung.
Loba masarakat anu nampik upama wewengkonna rék dijieun TPA. Puguh baé lumbrah, lantaran maranéhna ngeunteung kana gagalna cara ngokolakeun TPA. Antukna TPA idéntik jeung kumuh, rarujit, barau, sarta ngabahayakeun kasalametan jiwa. Sabenerna éta anggapan téh bisa dirobah upama TPA dikokolakeun kalayan hadé tur daria. Contona ku cara ngahangkeutkeun kagiatan ngolah runtah jadi gemuk. Ku cara kitu, masarakat baris ngabagéakeun wewengkonna dijieun TPA, lantaran bisa nyiptakeun arawa ngalegaan lahan pacabakan. Salila ieu, kagiatan ngolah runtah ukur jadi wacana, henteu dibarung prakna, sakurang-kurangna henteu pati daria.
Anu leuwih mungkin ditaratas pikeun nyiar solusi pasualan runtah, taya deui iwal ti ngayakeun gawé bareng antara pamaréntah jeung sakumna masarakat. Lamun ukur ngandelkeun pamaréntah, nepi ka iraha ogé moal aya réngséna. Sakali deui, kudu aya rampak gawé anu harmonis antara pamaréntah jeung masarakat. Kahiji, wayahna pamaréntah kudu nyayagikeun dua rupa mobil paranti ngangkut runtah, nyaéta pikeun runtah baseuh jeung runtah anu garing. Lamun waragad maén bal anu jumlahna miliaran bisa kahontal, piraku baé henteu kabeuli mobil paranti runtah.
Sanggeus sayagi dua rupa mobil runtah, tangtuna ogé kudu diimbangan ku nyayagikeun dua rupa TPA, pikeun nampung runtah baseuh jeung runtah garing. Ku cara kitu, anu sok mulungan runtah ogé bakal sujud syukur, lantaran leuwih babari ngumpulkeun barang-barang anu payu kénéh kana duit. Apan éta téh kaasup pagawéan mulya anu mugia baé aya dina karidoan-Na.
            Satuluyna, saha anu kudu misah-misahkeun runtah baseuh jeung garing? Taya deui, iwal ti masarakat di saban imah.  Mun perelu, nyieun dua tong sampah keur runtah baseuh jeung runtah garing. Éta pisan wujud partisipasi nyata masarakat nu kalintang mangpaatna. Sabab, pasualan runtah mah gumantung pisan kana sikep saban individu dina ngokolakeun runtah. Sanajan pamaréntah bébéakan ngurus runtah, moal aya anggeusna lamun henteu bisa ngahudang kasadaran masarakat dina ngokolakeun runtah. Lain baé pasualan pamaréntah anu tacan bisa ngokolakeun runtah, tapi perkara méntal masarakat ogé henteu kurang pentingna.
            Jajampéan tulak bala singlar runtah mah kawilang basajan. Mangga cobian papatkeun bari peureum atawa bari beunta, atawa bari peureum beunta: “ciwit heula diri sorangan, saméméh nyiwit batur; Ambeuan heula runtah sorangan, saméméh neumbleuhkeun bau ka batur. Lamun kaambeu bau, pék pikiran carana sangkan batur henteu katempuhan kudu nyeuseup nu barau téa”.
Pikeun sing saha baé anu irungna masih kénéh normal, pasti bakal milu titén kana pasualan runtah, sakaligus mibanda tékad pikeun milu partisipasi dina mulangkeun deui citra Bandung jadi kota kembang.***